Satupilar.com | Seperti diketahui, memotret diam-dam atau mengambil foto tanpa izin dari yang difoto adalah hal yang melanggar privasi, dimana setiap individu mempunyai hak atas privasi. Tapi bagaimana dengan wartawan, apakah wartawan boleh mengambil foto tanpa izin?
Penting untuk mengetahui apakah wartawan boleh mengambil foto tanpa izin. Terlebih dalam konteks jurnalistik, terdapat beberapa pengecualian yang harus diketahui.
Dalam artikel ini, Penasihathukum.akan membahas dan menjawab pertanyaan apakah wartawan boleh mengambil foto tanpa izin, apalagi dalam profesinya, mengambil foto dan video adalah sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan oleh wartawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Profesi wartawan di Indonesia diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Pers yang mendefinisikan wartawan sebagai individu yang secara rutin melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Berbeda dengan masyarakat umum, wartawan beroperasi dalam lingkungan pers atau perusahaan pers, yang memberikan mereka hak dan kewajiban khusus dalam menjalankan tugasnya.
Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan diharuskan mengikuti Kode Etik Jurnalistik. Menurut Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik, wartawan harus bersikap independen, memastikan berita yang disajikan akurat, berimbang, dan bebas dari niat buruk.
Namun, bagaimana dengan mengambil foto atau merekam tanpa izin? Secara umum, wartawan tidak boleh merekam atau mengambil gambar tanpa izin ketika hal tersebut berkaitan dengan privasi narasumber.
Misalnya, untuk informasi pribadi, kehidupan sehari-hari, atau hal-hal yang disepakati untuk tidak dipublikasikan (“off the record”), wartawan harus menghormati privasi dan kesepakatan tersebut.
Namun, untuk lokasi-lokasi seperti kantor pemerintahan atau fasilitas umum, tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang wartawan mengambil gambar atau merekam video selama dilakukan secara profesional dan dengan tujuan untuk memberikan informasi yang berimbang. Penting bagi wartawan untuk tetap mematuhi prinsip-prinsip profesional dalam mendokumentasikan informasi.
Jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat dokumentasi atau informasi yang dipublikasikan, mereka memiliki hak untuk menggunakan hak jawab dan hak koreksi.
Hak jawab memberikan kesempatan kepada individu atau kelompok yang merasa nama baiknya dirugikan untuk memberikan tanggapan terhadap pemberitaan tersebut. Sementara itu, hak koreksi memungkinkan individu untuk memperbaiki kekeliruan informasi yang telah disebarluaskan.
Pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi ini diatur dalam Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik, yang menyatakan bahwa wartawan harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru disertai permintaan maaf kepada pembaca atau audiens.
Dewan Pers juga berperan dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat terkait pemberitaan pers.
Jika perusahaan pers tidak memenuhi kewajiban untuk melayani hak jawab atau hak koreksi, mereka dapat dikenakan sanksi denda maksimal sebesar Rp500 juta.
Ini menunjukkan pentingnya tanggung jawab pers dalam menjaga akurasi dan keadilan dalam pemberitaan.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik dilakukan oleh Dewan Pers, sedangkan sanksi untuk pelanggaran tersebut dapat dikenakan oleh organisasi wartawan atau perusahaan pers itu sendiri.