Satupilar.com | Saya, Jeri Prayoga, pemuda Aceh, mahasiswa Fakultas Hukum dengan konsentrasi Hukum Pidana, yang lahir dan besar di Aceh Tamiang. Setiap kali mendengar klaim sepihak Sumatera Utara atas empat pulau vital—Pulau Mangkir Gadang/Besar, Pulau Mangkir Ketek/Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang—ada sesuatu yang terkoyak dari identitas kami. Ini bukan sekadar garis di peta administratif; ini adalah pelanggaran terhadap sejarah, hukum, dan martabat rakyat Aceh. Kami, para pemuda Aceh, tidak akan pernah menerima keputusan yang jelas-jelas cacat secara yuridis dan faktual ini.
Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tertanggal 25 April 2025 yang menetapkan keempat pulau ini sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, adalah kekeliruan fatal yang harus segera dikoreksi. Alasan seperti “kesepakatan batas darat” atau “kedekatan geografis” terkesan mengabaikan inti permasalahan. Pertanyaan besarnya: apakah penyelesaian batas wilayah di Indonesia bisa semudah itu mengabaikan fakta sejarah dan landasan hukum yang telah kokoh?
Fakta Sejarah yang Tak Terbantahkan
Pulau-pulau tersebut, jauh sebelum Indonesia merdeka, sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Aceh, khususnya para nelayan dari Aceh Selatan, Aceh Singkil, hingga Aceh Tamiang. Mereka tidak hanya mencari nafkah di sana, tetapi juga menjadikan pulau-pulau tersebut bagian integral dari rute pelayaran tradisional dan wilayah adat mereka. Apakah Kemendagri melakukan kajian historis yang mendalam sebelum mengeluarkan keputusan ini? Apakah mereka mewawancarai para tetua adat atau nelayan yang secara turun-temurun berinteraksi dengan pulau-pulau tersebut?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada masa kolonial Belanda, peta-peta administratif jelas menunjukkan pulau-pulau ini sebagai bagian dari wilayah administratif Aceh. Pasca-kemerdekaan, penataan wilayah Provinsi Aceh dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh juga secara implisit maupun eksplisit merujuk pada cakupan wilayah yang mencakup pulau-pulau di lepas pantai barat Aceh.
Dari Segala Sudut, Ini Wilayah Aceh
1. Secara Yuridis
Keempat pulau tersebut secara historis berada di bawah administratif Kabupaten Aceh Singkil, yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Aceh dan Sumatera Utara. Undang-undang ini belum pernah dicabut. Artinya, secara hukum tertinggi, pulau-pulau itu adalah bagian mutlak dari Provinsi Aceh.
2. Secara Historis dan Administratif
Data SK Inspeksi Agraria 1965, peta TNI 1978, serta berbagai peta resmi lainnya secara konsisten menunjukkan pulau-pulau ini dalam cakupan Aceh.
Pemerintahan lokal Aceh Singkil selama bertahun-tahun mengelola wilayah ini, bahkan para nelayan di sana membayar pajak ke pemerintah Aceh. Ini adalah bukti administrasi di lapangan.
Kesepakatan bersama antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tahun 1992 dan 2009 menunjukkan tidak ada klaim tumpang tindih saat itu. Sengketa baru muncul karena kesalahan administratif dan pendataan nasional yang tidak akurat, bukan karena perubahan fakta di lapangan.
3. Secara Sosiokultural
Masyarakat di sekitar keempat pulau itu memiliki identitas Aceh, menggunakan bahasa daerah Aceh, dan secara sosial-budaya melekat pada budaya pesisir barat Aceh Singkil. Pemindahan wilayah ini bukan sekadar soal batas, tetapi pemaksaan identitas baru yang menyalahi sejarah dan akar budaya mereka.
Di Mana Supremasi Hukum?
Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat beberapa poin krusial yang membuat keputusan Kemendagri ini patut dipertanyakan validitasnya:
Pelanggaran Asas Legalitas dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan: Keputusan Kemendagri yang bersifat teknis administratif seharusnya tunduk pada undang-undang yang lebih tinggi. UU No. 24 Tahun 1956 dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis), secara jelas mengatur wilayah Aceh. UUPA, sebagai implementasi dari Perjanjian Damai Helsinki 2005, mengakui kekhususan Aceh dan secara tidak langsung menegaskan wilayahnya. Bagaimana mungkin keputusan setingkat menteri dapat menganulir ketentuan undang-undang yang lebih tinggi?
Perjanjian Damai Helsinki 2005: Komitmen Negara terhadap Aceh: Perjanjian Damai Helsinki bukan sekadar dokumen politik, melainkan sebuah komitmen hukum internasional yang mengikat negara. Salah satu esensinya adalah pengakuan terhadap identitas dan integritas wilayah Aceh. Klaim atas pulau-pulau ini berpotensi merusak semangat perdamaian yang telah susah payah dibangun, karena dapat dianggap sebagai bentuk penggerusan wilayah Aceh pasca-damai. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, salah satu arsitek perdamaian Aceh, telah menegaskan hal ini. Pernyataannya bukan sekadar opini, melainkan penegasan dari seorang aktor kunci dalam sejarah Aceh modern.
Ketersambungan Ekologis dan Sosial-Ekonomi: Pulau-pulau ini tidak hanya memiliki ketersambungan geografis dengan daratan Aceh, tetapi juga ketersambungan ekologis dan sosial-ekonomi yang kuat. Sumber daya laut di sekitar pulau-pulau tersebut menjadi tumpuan hidup ribuan nelayan Aceh. Alih-alih memindahkan kepemilikan, Kemendagri seharusnya mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi yang masif terhadap masyarakat pesisir Aceh jika akses mereka terhadap wilayah tangkap tradisional terganggu.
Asas Kepastian Hukum dan Keadilan: Pengambilan keputusan harus berdasarkan asas kepastian hukum dan keadilan. Jika keputusan didasarkan pada “kesepakatan batas darat” yang tidak melibatkan musyawarah mufakat dengan pihak Aceh secara menyeluruh mengenai pulau, atau hanya didasarkan pada kedekatan geografis semata tanpa mempertimbangkan aspek historis dan yudisial lainnya, maka ini adalah bentuk ketidakadilan yang nyata.
Harapan dan Seruan: Jangan Diam!
Kami sangat menghargai langkah Presiden Prabowo Subianto yang mengambil alih persoalan ini. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah pusat dalam menyelesaikan sengketa ini. Namun, kami berharap keputusan yang akan diambil bukanlah sekadar “jalan tengah” yang mengabaikan kebenaran, melainkan keputusan yang berpihak pada keadilan, sejarah, dan hukum. Tidak ada konsep “mengelola bersama” jika wilayah itu adalah milik sah Aceh. Ini seperti meminta pemilik rumah untuk “mengelola bersama” rumahnya dengan tetangga.
Kami juga berharap kepada DPR RI & DPD RI untuk mengadakan rapat dengar pendapat terbuka, agar masyarakat Aceh mendapatkan ruang menyampaikan bukti dan aspirasi mereka secara langsung. Dan kepada Pemerintah Aceh, kami tegaskan: Jangan diam! Ini bukan sekadar masalah administrasi. Ini soal kedaulatan wilayah dan kehormatan rakyat Aceh.
Kami, pemuda Aceh, adalah garda terdepan dalam menjaga marwah tanah leluhur. Kami akan terus mendukung Pemerintah Provinsi Aceh dalam upaya mereka mempertahankan hak ini, baik melalui jalur diplomasi, kajian hukum, hingga potensi gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ini bukan lagi sekadar sengketa batas, ini adalah ujian bagi konsistensi negara dalam menghormati kekhususan Aceh dan menjaga integritas wilayahnya.
Empat pulau itu adalah bagian dari Aceh. Ini adalah kebenaran yang harus diakui, bukan untuk diperdebatkan. Jangan biarkan sejarah dicatut dan keadilan diinjak-injak. Kami hanya anak muda Aceh yang menolak sejarah kami dihapus secara diam-diam.
“Jika tanah kami bisa diambil tanpa suara kami, apa arti konstitusi, apa arti demokrasi?”
“Keutuhan Aceh bukan pemberian. Ia adalah hak sejarah yang dijaga dengan darah, dan harus dipertahankan dengan suara yang lantang.”
Jeri Prayoga
Pemuda Aceh – Mahasiswa Hukum
Aceh Tamiang, 15 Juni 2025