Satupilar.com | Banda Aceh Sorotan publik kini semakin tajam terhadap dugaan rekayasa hukum dalam penanganan perkara Pembangunan Gudang Arsip UPTD Aceh Timur Tahun Anggaran 2022. Di tengah proses penyidikan yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, muncul dua nama kunci yang secara hukum paling bertanggung jawab namun justru tidak tersentuh sama sekali oleh Kejaksaan Negeri Aceh Timur.
Mereka adalah Syahrial Faujar, ST., MT., selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Arif Munandar, S.Tr.T., Konsultan Pengawas sekaligus Direktur CV. Rapido Meugah Karya. Padahal, keduanya memiliki kuasa mutlak dalam pengesahan dan pencairan proyek senilai Rp1,76 miliar dari APBA. Dokumen yang mereka tandatangani — SPTJM oleh Syahrial Faujar, Surat Pernyataan PHO oleh Arif Munandar, dan surat pengantar pencairan oleh KPA — menjadi dasar mutlak pencairan dana. Arif Munandar bahkan secara resmi menyatakan pekerjaan 100% selesai dan layak diserahterimakan, atas permintaan langsung dari KPA Syahrial Faujar melalui surat tertanggal 22 Desember 2022.
Namun, ironisnya, kedua pihak ini justru aman dari jerat hukum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, dua nama lain—Mahdi Amin (penyedia jasa) dan Budi Hermawan (PPTK)—yang tidak memiliki wewenang otorisasi teknis maupun keuangan, justru ditetapkan sebagai tersangka.
*Koneksi Keluarga Jadi Kunci Kebal Hukum?*
Muncul dugaan bahwa Rosdiana, ST., istri Syahrial Faujar yang dikenal sebagai Dedek, dan saat ini menjabat sebagai pegawai aktif DLHK Provinsi Aceh, memiliki relasi emosional dan geografis dengan salah satu petinggi di Kejaksaan Tinggi Aceh yang juga berasal dari Ulim, Pidie Jaya.
Apakah ini menjelaskan mengapa Syahrial tetap “baik-baik saja”?
Apakah ini juga menjelaskan mengapa Arif Munandar tidak disentuh, padahal ia satu-satunya pihak yang secara teknis menyatakan proyek layak dibayar?
*Pertanyaan Kritis untuk Penegak Hukum:*
1. Mengapa KPA dan Konsultan yang menandatangani seluruh dokumen pengesahan dan pencairan tidak ikut diperiksa?
2. Jika memang ada kerugian negara, mengapa bukan mereka yang paling dulu dimintai pertanggungjawaban?
3. Apakah hukum di Aceh masih dijalankan berdasarkan bukti dan tanggung jawab—atau berdasarkan siapa yang kita kenal dan istri siapa kita?
*Rakyat Butuh Jawaban, Bukan Drama Elite.*
Para jurnalis menegaskan akan terus menyuarakan fakta ini ke hadapan publik dan mendesak Komisi Kejaksaan RI, Jamwas Kejagung, dan DPR RI Komisi III untuk turun tangan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap dugaan penyimpangan hukum dalam penanganan perkara ini.
“Ketika Konsultan dan KPA punya kekuasaan meneken, tapi justru penyedia dan PPTK yang dipenjara, kita sedang menyaksikan tragedi keadilan di panggung birokrasi lokal.” (Hanafiah)